Life Happens

Tentang Rumah Nenek, Dimana Kami Akan Selalu Jadi Anak Kecil

Selamat pagi kasurku yang seperti biasa terlihat menawarkan kenyamanan berlebih setiap pagi. Halo teras depan yang sering sekali menjadi bahan gerutuan. Kamu pasti rindu sekali padaku sampai-sampai menghadiahi keributan mahasiswa baru yang mempersiapkan ospek sampai jauh malam di hari pertamaku kembali. Dan halo juga kamu bangunan seberang rumah, rupanya pembangunannya belum selesai ya, pantas saja bising alat konstruksi masih menembus gendang telingaku pagi ini. Dan tentu saja, selamat datang kembali hari-hari tanpa sarapan pagi~

Ritual pertama setelah sampai di kosan tentu saja bersih-bersih lantai, meja dan piring-piring yang berdebu setelah ditinggal lebih dari setengah bulan. Oh, dan terutama saja tentu kasur! Adik saya bilang saya itu Putri Kacang Hijau, bukannya Putri Kacang Polong seperti dalam cerita dongeng, karena nggak bisa tidur kalau kasur yang digunakan ngeres, dalam bahasa Sundanya. Emm, apa ya istilah bahasa Indonesianya, “terasa seperti berpasir” mungkin? Suka bingung menemukan padananan bahasa Indonesia untuk istilah seperti itu.

Lebaran di rumah nenek menyenangkan seperti biasa. Banyak orang berkumpul yang membuat suasana ramai, acara jalan-jalan satu keluarga besar, berkunjung ke rumah saudara yang lain. Tapi kadang-kadang saya rindu kesunyian, rindu keadaan dimana kamu harus mengurus dirimu sendiri. Terkadang para nenek dan saudara-saudara orang tua suka merasa kalau kita masih anak SMP yang segala macamnya harus diurus dan bisa menghilang atau nyasar entah kemana kalau dibiarkan pergi sendirian.

Overprotective. Itu tandanya mereka peduli, saya tahu. Tapi tetap saja~

Toh sudah beberapa tahun terakhir saya tinggal di tempat yang sebelumnya tidak pernah saya datangi sama sekali, seorang diri, tanpa keluarga, jauh ataupun dekat. Saya belajar mengurus diri, belajar menghapalkan jalan, jalur angkot, tempat-tempat yang diperlukan untuk menyambung hidup (oke, ini lebay). Nggak tahu jalan, tinggal tanya, or google it~

Bahkan ketika PKL mengharuskan saya untuk hidup di kota sebelah, yang berarti kosan baru, lingkungan baru, jalanan kota yang tidak dikenal sama sekali, orang-orang baru, I survived it. Jangan lupa juga ketika saya dan beberapa teman memutuskan untuk travelling ke Solo dan Jogja berbekal pengetahuan arah dan informasi yang didapatkan dari internet.

Jadi Insya Allah, saya nggak akan hilang hanya karena saya dan adik saya memutuskan untuk ke Pasar Baru, ke mall, ke toko buku, tanpa diantar-antar walaupun kami sekarang ke Bandung cuma setiap lebaran dan acara keluarga. Insya Allah kita juga nggak akan hilang karena memilih untuk mengurus pindahan adik saya ke kosannya di Jatinangor sendirian.

So please, bahkan orang tua kami pun membiarkan anak-anaknya mengurus urusannya sendiri-sendiri.

I know you care, but we’re not children anymore. Tapi mungkin bagi kalian kami selamanya akan tetap menjadi anak kecil. Seperti halnya seorang paman yang terheran-heran ketika menyadari bahwa saudara sepupu saya yang usianya terpaut enam bulan dari saya sudah hampir menyelesaikan kuliahnya.

About Faye

sometimes i forget i live in a real world

Discussion

2 thoughts on “Tentang Rumah Nenek, Dimana Kami Akan Selalu Jadi Anak Kecil

  1. memang pasti kalau ketemu kakek nenek, pasti segede apapun kita pasti sellau dipandang masih anak kecil aja..

    terutama kalau ketemu cuma setaun sekali, jarang interaksinya
    jadi pasti yang keinget pas kita masih kecil aja

    Posted by Prib | September 14, 2012, 13:59
    • kadang risih juga sih ya, ngerasa umur udah segini (tua nak, kamu sudah tua /plak), tinggal aja apa-apa sendiri di kosan, kok mau ke pasar atau ke toko buku aja orang masih ribut (pouty)

      Posted by Faye | September 21, 2012, 09:50

Leave a comment

September 2012
M T W T F S S
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930